BISNIS

Sifat-Sifat Orang Yahudi

 


Di antara tafsiran “mereka sangat suka dengan berita-berita bohong” adalah mereka sangat senang ketika mereka berdusta dengan menyatakan bahwa di dalam Taurat tidak ada hukum rajam. Sebagian ulama menafsirkan bahwa setiap kali mereka mendengar ceramah Nabi Muhammad ﷺ, maka mereka mendustakannya.
Mereka sengaja mendengar ceramah Nabi hanya untuk mendustakan beliau.

Firman Allah:

سَمّٰعُوْنَ لِقَوْمٍ اٰخَرِيْنَۙ لَمْ يَأْتُوْكَ ۗ

“Yang sangat suka mendengar (berita-berita) bohong dan sangat suka mendengar (perkataan-perkataan) orang lain yang belum pernah datang kepadamu.”

Di antara sifat-sifat orang Yahudi adalah suka mendengar berita dusta dari orang-orang yang tidak pernah datang kepada Nabi ﷺ, yaitu para pembesar-pembesar Yahudi sekaligus ulama-ulama Su’ (jahat) dari kalangan Yahudi.

Firman Allah:

يُحَرِّفُوْنَ الْكَلِمَ مِنْۢ بَعْدِ مَوَاضِعِهٖۚ

“Mereka mengubah kata-kata (Taurat) dari makna yang sebenarnya”

Pekerjaan mereka adalah suka mengubah tafsiran Taurat. Mereka sebenarnya sudah mengetahui tempat atau penafsirannya yang benar. Namun, karena mereka mengikuti hawa nafsu, maka mereka pun menafsirkannya dengan penafsiran yang melenceng. Mereka tahu syariat hukum rajam dalam Taurat. Namun, mereka memalingkan dan menakwilkannya dengan takwil yang tidak benar. Tentu, itu menjadi celaan bagi mereka yang menyimpangkan tafsir Taurat setelah mereka mengetahui penafsirannya yang benar.

Firman Allah:

قُوْلُوْنَ اِنْ اُوْتِيْتُمْ هٰذَا فَخُذُوْهُ وَاِنْ لَّمْ تُؤْتَوْهُ فَاحْذَرُوْا ۗ

“Jika ini (yang sudah diubah) yang diberikan kepadamu terimalah, dan jika kamu diberi yang bukan ini, maka hati-hatilah”

Ketika terjadi perzinaan di antara orang Yahudi, sebagian mereka berkata kepada sebagian yang lain, “Pergilah kepada Muhammad dan tanyakan kepadanya, jika ternyata hukuman bagi pezina menurut Muhammad lebih ringan dari rajam, maka terimalah. Namun, jika dia memberikan hukum lain yang sama dengan najam, maka waspadalah!”

Firman Allah:

وَمَنْ يُّرِدِ اللّٰهُ فِتْنَتَهٗ فَلَنْ تَمْلِكَ لَهٗ مِنَ اللّٰهِ شَيْـًٔا ۗ اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ لَمْ يُرِدِ اللّٰهُ اَنْ يُّطَهِّرَ قُلُوْبَهُمْ ۗ لَهُمْ فِى الدُّنْيَا خِزْيٌ ۖوَّلَهُمْ فِى الْاٰخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيْمٌ

“Siapa yang dikehendaki Allah untuk dibiarkan sesat, sedikit pun engkau tidak akan mampu menolak sesuatu pun dari Allah (untuk menolongnya). Mereka itu adalah orang-orang yang sudah tidak dikehendaki Allah untuk menyucikan hati mereka. Di dunia mereka mendapat kehinaan dan di akhirat akan mendapat azab yang besar “.

Jika Allah tidak memberikan hidayah kepada suatu kaum, maka siapa pun tidak akan mampu sedikit pun memberikan hidayah kepada mereka. Bahkan, Nabi ﷺ sekalipun. Allah mematikan hati mereka karena mereka telah mengetahui kebenaran, lalu sengaja memalingkannya. Adapun Nabi ﷺ maka sangat ingin mereka mendapatkan hidayah sehingga beliau ﷺ pun mendakwahi mereka.

Bahkan, sebagian ulama menyebutkan bahwa pada saat pertama kali tiba di Madinah, Nabi ﷺ ingin bersepakat dengan mereka. Beliau pernah shalat menghadap arah Baitul Maqdis, yang ketika itu merupakan kiblat pertama, meskipun Rasulullah pun ingin shalat menghadap Ka’bah. Ada pula puasa kaum Muslimin yang mirip dengan puasa mereka. Nabi ﷺ ingin hal-hal yang menjadi kesepakatan dengan mereka, termasuk dalam masalah ibadah, dapat membuat mereka memeluk agama Islam.

Namun ternyata, mereka adalah kaum yang buruk yang suka mengubah-ubah ayat-ayat Allah sehingga Allah berfirman:

وَمَنْ يُّرِدِ اللّٰهُ فِتْنَتَهٗ فَلَنْ تَمْلِكَ لَهٗ مِنَ اللّٰهِ شَيْـًٔا ۗ

“Siapa yang dikehendaki Allah untuk dibiarkan sesat, sedikitpun engkau tidak akan mampu menolak sesuatu pun dari Allah (untuk menolongnya)”

Demikianlah, Jika Allah telah menakdirkan sesuatu terhadap suatu kaum, maka Nabi ﷺ pun tidak akan mampu memberikan hidayah bagi mereka.

Abu Thalib, yang merupakan paman Nabi ﷺ pun tidak mendapatkan hidayah. Rasulullah ﷺ telah menasihati dan mendakwahinya berulang-ulang, sementara Abu Thalib juga sangat sayang kepada beliau, bahkan rela mati-matian membela Nabi ﷺ. Hingga menjelang wafatnya, Nabi ﷺ tetap mendakwahi Abu Thalib. Namun karena Abu Thalib tidak ingin dipermalukan oleh kaumnya, akhirnya dia tetap tidak mau masuk Islam.

Karena itu, benarlah bahwa kita hanya mampu berusaha. Namun, jika Allah sudah menghendaki fitnah kepada seseorang, kita tidak akan mampu menolongnya sedikit pun.

Firman Allah:

اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ لَمْ يُرِدِ اللّٰهُ اَنْ يُّطَهِّرَ قُلُوْبَهُمْ ۗ لَهُمْ فِى الدُّنْيَا خِزْيٌ ۖوَّلَهُمْ فِى الْاٰخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيْمٌ

“Mereka itu adalah orang-orang yang sudah tidak dikehendaki Allah untuk menyucikan hati mereka. Di dunia mereka mendapat kehinaan dan di akhirat akan mendapat azab yang besar”.

Nabi menginginkan semua orang munafik dan Yahudi untuk memeluk agama Islam disebabkan kelembutan hati beliau. Karena itu, orang munafik yang menampakkan kemunafikannya dan orang Yahudi yang bersikeras dalam kekufurannya itu menyebabkan Nabi ﷺ bersedih. Ini menunjukkan bagaimana mulianya akhlak Nabi ketika berdakwah. Beliau berdakwah dengan penuh rasa harapan agar mereka mendapatkan hidayah sehingga,.ketika mereka semakin membangkang, beliau pun menjadi sedih.

Hendaknya para da’i bisa mencontoh Nabi ﷺ dalam hal ini, yaitu berdakwah dengan semangat dan harapan yang tinggi agar audiens bisa mendapatkan hidayah, bukan hanya sekadar berdakwah dalam rangka sekadar menegakkan hujjah (argumentasi). Seseorang yang berdakwah dengan penuh harapan agar audiens mendapatkan hidayah maka ia akan berusaha berdakwah dengan sungguh-sungguh dan sebaik-baiknya. Berbeda dengan seseorang yang berdakwah hanya sekadar bertujuan menegakkan hujjah, betapa sering ia tidak memedulikan metode dakwah yang terbaik.

Sebagaimana kondisi orang-orang Yahudi yang memiliki sebab keimanan yang tinggi (yaitu disebutkannya Nabi ﷺ di Taurat tetapi mereka tetap tidak beriman) maka demikian pula halnya dengan orang-orang munafik. Mereka melihat nabi dan akhlak beliau secara langsung. Mereka tahu bahasa Arab, mendengarkan ceramah beliau, mengikuti perang bersama beliau, bahkan juga menyaksikan mukjizat-mukjizat beliau. Namun, jika Allah tidak memberikan hidayah kepada mereka, Nabi tidak mampu memberikan hidayah sedikit pun kepada mereka.

Ayat ini menunjukkan pentingnya memerhatikan hati kita. Kalangan Yahudi dan munafik adalah orang-orang yang tidak ingin disucikan hatinya. Allah berfirman tentang hati orang-orang munafik, sebagaimana dalam Surah Al-Baqarah (2) ayat 10:

فِيْ قُلُوْبِهِمْ مَّرَضٌۙ

“Dalam hati mereka ada penyakit.”

Diriwayatkan bahwa ada sebagian Yahudi datang dan berkata kepada Ibnu Abbas atau Ibnu Mas’ud, “Kami adalah orang-orang yang khusyuk di dalam shalat kami”. Maka, beliau berkata, “Untuk apa setan menggoda hati yang telah rusak?”

Orang-orang kafir bisa jadi tidak digoda lebih lanjut oleh setan karena toh mereka telah berkubang dalam kesyirikan dan kekufuran. Yang terus digoda oleh setan adalah orang-orang Islam dan bertauhid. Allah tidak ingin menyucikan hati-hati orang Yahudi dan munafik karena mereka telah tahu kebenaran, tetapi sengaja menyimpangkannya.

Para ulama mengingatkan kita untuk senantiasa berhati-hati karena ada ahli bid’ah dan sebagian ulama sesat yang mengetahui makna yang benar dari ayat tertentu, tetapi sengaja dipalingkan maknanya karena tidak sesuai dengan hawa nafsu mereka. Perbuatan mereka semacam ini memiliki kemiripan dengan perbuatan orang-orang Yahudi, yang mereka telah tahu kebenaran, tetapi sengaja menyimpannya sesuai keinginan mereka.[]

Posting Komentar

0 Komentar