BISNIS

Memahami Perbedaan Putusan Bebas dan Putusan Lepas

 


Pekan lalu merupakan momen penting bagi Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti. Setelah melewati berbulan-bulan persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur (PN Jaktim), majelis hakim menjatuhkan vonis bebas terhadap keduanya dari semua dakwaan yang diajukan jaksa penuntut umum. Putusan yang disambut dengan gegap gempita itu dibacakan oleh Ketua Majelis Hakim Cokorda Gede Arthana, Senin, (8/1/2024).

“Mengadili, menyatakan Haris Azhar tidak terbukti bersalah sebagaimana dakwaan jaksa penuntut umum. Membebaskan Haris dari semua dakwaan,” begitu sebagian kutipan amar Putusan No.202/Pid.Sus/2023/PN Jkt.Tim—sebagaimana diucapkan Cokorda—dalam persidangan terbuka untuk umum di Gedung PN Jaktim.

Dalam pertimbangan putusan, majelis menilai diskusi atau podcast antara Haris dan Fatia yang diunggah di akun Youtube Haris Azhar dengan tema “Ada Lord Luhut dibalik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya!! Jendral BIN Juga Ada!! NgeHAMtam,” bukan termasuk penghinaan dan pencemaran nama baik. Podcast itu hanya memaparkan hasil kajian cepat yang dilakukan sembilan organisasi masyarakat sipil tentang Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua, Kasus Intan Jaya.

Dalam putusan tersebut, Haris-Fatia dinyatakan bebas dalam segala tuduhan. Namun, perlu dipahami bahwa putusan bebas bukanlah putusan lepas. Keduanya memiliki makna hukum yang berbeda. Lalu apa perbedaan putusan bebas dan lepas? Berikut penjelasannya.

Dikutip dalam artikel Klinik Hukumonline bertajuk “Bentuk-Bentuk Putusan Bebas” yang disarikan oleh Tri Jata Ayu Pramesti, putusan bebas dapat ditemui pengaturannya dalam Pasal 191 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berbunyi:

“Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.”

Yang dimaksud dengan "perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti sah dan meyakinkan" adalah tidak cukup terbukti menurut penilaian hakim atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum acara pidana [penjelasan Pasal 191 ayat (1) KUHAP).

Yahya Harahap dalam bukunya yang berjudul Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP mengatakan bahwa putusan bebas berarti terdakwa dinyatakan bebas dari tuntutan hukum (vrijspraak) atau acquittal, dalam arti dibebaskan dari pemidanaan. Tegasnya, terdakwa tidak dipidana (hal. 347).

Penilaian bebas sebuah putusan tersebut tergantung pada dua hal, yaitu (ibid. hal. 348): pertama, tidak memenuhi asas pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Pembuktian yang diperoleh di persidangan tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa dan sekaligus kesalahan terdakwa yang tidak cukup terbukti itu tidak diyakini oleh hakim.

Kedua, tidak memenuhi asas batas minimum pembuktian. Kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa hanya didukung oleh satu alat bukti saja, sedang menurut ketentuan Pasal 183 KUHAP, agar cukup membuktikan kesalahan seorang terdakwa harus dibuktikan dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah.

Bertitik tolak pada kedua asas yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP di atas dan dihubungkan dengan Pasal 191 ayat (1) tentang putusan bebas, maka putusan bebas pada umumnya didasarkan pada penilaian dan pendapat hakim:

1) Kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa sama sekali tidak terbukti, semua alat bukti yang diajukan ke persidangan baik berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat, dan petunjuk maupun keterangan terdakwa tidak dapat membuktikan kesalahan yang didakwakan. Perbuatan yang didakwakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan karena menurut penilaian hakim semua alat bukti yang diajukan tidak cukup atau tidak memadai membuktikan kesahan yang didakwakan.

2) Secara nyata hakim menilai pembuktian kesalahan yang didakwakan tidak memenuhi ketentuan minimum batas pembuktian. Misalnya, alat bukti yang diajukan di persidangan hanya terdiri dari seorang saksi saja. Di samping tidak memenuhi asas batas minimum pembuktian, juga bertentangan dengan Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang menegaskan unus testis nullus testis atau seorang saksi bukan saksi.

3) Putusan bebas tersebut bisa juga didasarkan atas penilaian, kesalahan yang terbukti itu tidak didukung oleh keyakinan hakim. Keterbuktian kesalahan yang didakwakan dengan alat bukti yang sah harus didukung oleh keyakinan hakim. Sekalipun secara formal kesalahan terdakwa dapat dinilai cukup terbukti, namun nilai pembuktian yang cukup ini akan lumpuh apabila tidak didukung oleh keyakinan hakim.

Sementara itu, menurut Albert Aries dalam artikel klinik Hukumonline “Perbedaan Putusan Bebas dan Putusan Lepas”, mengutip Lilik Mulyadi dalam bukunya Hukum Acara Pidana, terbitan PT Citra Aditya Bakti (Bandung 2007), pada hal. 152-153, pada putusan lepas (ontslag van rechtsvervolging), segala tuntutan hukum atas perbuatan yang dilakukan terdakwa dalam surat dakwaan jaksa/penuntut umum telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum, akan tetapi terdakwa tidak dapat dijatuhi pidana, karena perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana, misalnya merupakan bidang hukum perdata, hukum adat atau hukum dagang.

Selain berdasarkan pendapat dari Lilik Mulyadi sebagaimana dimaksud di atas, menurut Albert, penjatuhan Putusan Bebas dan Putusan Lepas oleh seorang hakim atas pelaku suatu tindak pidana (yang unsur-unsur pasal yang didakwakan terbukti), dapat dibedakan dengan melihat ada atau tidak adanya alasan penghapus pidana (Strafuitsluitingsgronden), baik yang ada dalam undang-undang, misalnya alasan pembenar (contoh Pasal 50 KUHP) atau alasan pemaaf (contoh Pasal 44 KUHP), maupun yang ada di luar undang-undang (contoh: adanya izin).

Adapun contoh penerapan Pasal 310 ayat (3) KUHP sebagai suatu alasan penghapus pidana yang ada dalam undang-undang:

“Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.”

Arti Pasal 310 ayat (3) KUHP tersebut yakni dalam hal terbuktinya suatu perbuatan pencemaran nama baik yang dilakukan oleh seseorang, namun ia melakukan pencemaran nama baik tersebut karena ia terpaksa untuk membela dirinya, maka hakim harus menjatuhkan putusan lepas (onslag van recht vervolging) dan bukan putusan bebas (vrijspraak).

Posting Komentar

0 Komentar