BISNIS

Pinjol Resmi OJK Proses Cepat

UII dan UGM Desak Presiden Jokowi Tegakkan Etika

 

Rektor UII Prof Fathul Wahid didampingi para dosen dan civitas akademika membacakan deklarasi pernyataan sikap Indonesia Darurat Kenegarawanan di Yogyakarta, Kamis (1/2/2024). Foto: Tangkapan layar youtube

Sikap negarawan Presiden Joko Widodo dinilai pudar. Bisa dilihat dari pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai Cawapres dengan menggunakan putusan MK yang sarat intervensi politik dan telah dinyatakan terbukti melanggar etik.

Sejatinya etika menjadi landasan dalam setiap tindakan dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara. Apalagi pimpinan negara yang seharusnya menjadi tauladan bagi rakyatnya. Sayangnya, beberapa peristiwa yang terjadi belakangan ini menuai keprihatinan masyarakat sipil termasuk dari kalangan akademisi dan civitas akademik.

Sejumlah kampus telah menunjukkan sikap tersebut dengan menerbitkan petisi maupun deklarasi. Universitas Islam Indonesia (UII) dan Universitas Gajah Mada (UGM) mendeklarasikan pernyataan sikap yang menyimpulkan Indonesia Darurat Kenegarawanan.

Rektor UII Prof Fathul Wahid, dalam deklarasinya mengatakan jelang pemungutan suara Pemilu 2024 pada 14 Februari 2024 perkembangan politik nasional menunjukkan tanpa rasa malu praktik penyalahgunaan dan kekuasaan. Ya, kekuasaan digunakan untuk kepentingan politik praktis sekelompok golongan dengan mengerahkan sumber daya negara.

“Demokrasi Indonesia kian tergerus dan mengalami kemunduran,” kata Prof Fathul Wahid dalam deklarasi yang dibacakan di Kampus UII Yogyakarta, Rabu (1/2/2024) kemarin.

Persoalan itu bertambah buruk dengan gejala pudarnya sikap kenegarawanan Presiden Jokowi. Fathul menyebut hal itu bisa dilihat dari pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai Calon Wakil Presiden (Cawapres) yang menggunakan dasar Putusan MK No.90/PUU-XXI/2023. Padahal, putusan MK itu sarat intervensi politik dan dinyatakan terbukti melanggar etik yang berujung Anwar Usman dicopot dari jabatan Ketua MK.

Gejala pudarnya kenegarawanan Jokowi menurut Fathul semakin jelas ketika Presiden Jokowi menyatakan institusi Presiden tidak netral karena membolehkan seorang Presiden berkampanye dan berpihak. Begitu juga dengan distribusi bantuan sosial melalui pembagian beras dan bantuan langsung tunai (BLT) oleh Presiden Jokowi. Penyaluran bantuan sosial itu sarat bernuansa politik praktis yang diarahkan pada penguatan dukungan salah satu Capres-Cawapres tertentu.

“Mobilisasi aparatur negara untuk kepentingan dukungan terhadap pasangan calon tertentu adalah tindakan melanggar hukum sekaligus melanggar konstitusi,” tegas Fathul.

Berbagai peristiwa itu bagi civitas akademik UII berdampak buruk terhadap sistem hukum dan demokrasi. Dalam deklarasi itu, UII mendesak 6 hal. Pertama, mendesak Presiden Jokowi untuk kembali menjadi teladan dalam etika dan praktik kenegarawanan. Langkah yang perlu dilakukan antara lain tidak memanfaatkan institusi kepresidenan untuk memenuhi kepentingan politik keluarga melalui keberpihakan pada salah satu pasangan calon presiden-wakil presiden. Presiden harus bersikap netral, adil, dan menjadi pemimpin bagi semua kelompok dan golongan, bukan untuk sebagian kelompok.

Kedua, menuntut Presiden Jokowi dan seluruh aparatur pemerintahan untuk berhenti menyalahgunakan kekuasaan dengan tidak mengerahkan dan tidak memanfaatkan sumber daya negara untuk kepentingan politik praktis. Termasuk salah satunya dengan tidak melakukan politisasi dan personalisasi bantuan sosial.

Ketiga, menyerukan Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah agar aktif melakukan fungsi pengawasan, memastikan pemerintahan berjalan sesuai koridor konstitusi dan hukum. Serta tidak membajak demokrasi yang mengabaikan kepentingan dan masa depan bangsa. Keempat, mendorong Capres-Cawapres, menteri dan kepala daerah yang menjadi tim sukses, serta tim kampanye salah satu pasangan calon, untuk mengundurkan diri dari jabatannya, guna menghindari konflik kepentingan yang berpotensi merugikan bangsa dan negara.

Kelima, mengajak masyarakat Indonesia untuk terlibat memastikan pemilihan umum berjalan secara jujur, adil, dan aman demi terwujudnya pemerintahan yang mendapatkan legitimasi kuat berbasis penghormatan suara rakyat. Keenam, meminta seluruh elemen bangsa untuk bersama-sama merawat cita-cita kemerdekaan dengan memperjuangkan terwujudnya iklim demokrasi yang sehat.

Fathul menegaskan pernyataan sikap ini sebagai bentuk kepedulian UII merespon perkembangan praktik bernegara dan bernegara. Deklarasi ini merupakan bentuk seruan moral bukan partisan. “Pernyataan ini mengundang secara terbuka seluruh civitas akademika UII, sehingga pernyataan ini tidak bersifat elitis, tapi atas nama seluruh civitas akademika UII,” paparnya.

Sebelumnya, Civitas Akademika Universitas Gadjah Mada (UGM) juga mengambil langkah yang sama yakni menerbitkan pernyataan sikap yang disebut dengan Petisi Bulaksumur. Petisi itu dibacakan Guru Besar Psikologi UGM Prof Koentjoro. Dia menegaskan petisi ini bukan karena kebencian terhadap perseorangan, tapi cinta kasih kepada UGM dan Indonesia.

“Ada peristiwa dimana kami harus menyampaikan petisi ini sebagai pernyataan,” tegasnya.

Prof Koentjoro mengatakan civitas akademika UGM mencermati dinamika yang terjadi dalam politik nasional beberapa waktu terakhir. Prihatin terhadap tindakan peyelenggara negara di berbagai lini dan tingkatan yang menyimpang dari prinsip moral demokrasi kerakyatan dan keadilan sosial.

“Kami menyesalkan tindakan menyimpang yang justru terjadi di pemerintahan Jokowi yang juga bagian dari keluarga besar UGM,” lanjutnya.

Kasus pelanggaran etik di MK yang terjadi beberapa waktu terakhir, keterlibatan aparat penegak hukum dalam berbagai demokrasi perwakilan, pernyataan kontradiktif, pembenaran Presiden tentang keterlibatan pejabat publik dalam kampanye politik, serta netralitas dan keberpihakan. Menurut Prof Koentjoro, hal tersebut bentuk penyimpangan, pengabaian prinsip-prinsip demokrasi.

Petisi Bulaksumur menyebut Presiden Jokowi sebagai alumni UGM harusnya berpegang pada jati diri UGM yang menjunjung tinggi nilai Pancasila dan memperkuat demokratisasi yang berjalan dengan standar moral tinggi. Sampai tujuan pembentukan pemerintahan yang sah dan legitimasi demi melanjutkan estafet kepemimpinan untuk mewujudkan cita-cita luhur bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam UUD 1945.

Presiden Jokowi harus mengingat janji alumni UGM ‘Ku penuhi dharma bakti untuk ibu pertiwi…’. Tapi alih-alih menunaikan janji itu, civitas akademika UGM sebagaimana petisi yang dibacakan Prof Koentjoro, tindakan Jokowi justru menunjukkan penyimpangan prinsip demokrasi, kerakyatan, dan keadilan sosial yang merupakan esensi Pancasila. 

Posting Komentar

0 Komentar

Proses Kilat | Download Sekarang !